Al-Muhajirin

Keutamaan Shalat Sunnah di Rumah
إِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ
Sesungguhnya shalat seseorang yang paling afdhal adalah shalat yang dikerjakan di rumahnya, kecuali shalat wajib. [HR. Bukhari 731, Muslim 1861 dan yang lainnya]
Namun, bagaimana jika dikerjakan di rumah menyebabkan kita tidak mendapatkan shaf pertama untuk berjamaah? Lebih dianjurkan untuk shalat rawatib qabliyah di masjid, agar mendapat shaf pertama ketika shalat berjamaah.

Hukum Dropship

Sistem dropshipping banyak diterapkan saat ini oleh para penggiat toko online. Mereka tidak mesti memiliki barang. Cukup mereka memasang iklan di website atau blog, lalu jika ada pesanan, mereka tinggal menghubungi pihak produsen atau grosir. Setelah itu pihak produsen atau grosir selaku dropshipper yang mengirimkan barang langsung kepada buyer (pembeli).

Bagaimana hukum jual beli dengan sistem dropshipping semacam ini? Padahal bentuknya adalah menjual barang yang tidak dimiliki, dan ini dilarang dalam hadits. Adakah solusi syar’inya?

Bentuk Dropshipping dan Siapakah Dropshipper? 

Dropshipping adalah teknik manajemen rantai pasokan di mana reseller atau retailer (pengecer) tidak memiliki stok barang. Pihak produsen atau grosir selaku dropshipper yang nantinya akan mengirim barang secara langsung pada pelanggan. Keuntungan didapat dari selisih harga antara harga grosir dan eceran. Tetapi beberapa reseller ada yang mendapatkan komisi yang disepakati dari penjualan yang nanti dibayarkan langsung oleh pihak grosir kepada reseller. Inilah bentuk bisnis yang banyak diminati dalam bisnis online saat ini. 

Berikut ilustrasi mengenai sistem dropshipping:

Barang dipasarkan lewat toko online atau dengan hanya memasang ‘display items’ atau ‘katalog. Lalu pihak buyer (pembeli) melakukan transaksi lewat toko online kepada reseller dropship. Setelah uang ditransfer, pihak dropshipper (grosir) yang mengirim barang kepada buyer. Artinya, pihak reseller sebenarnya tidak memiliki barang saat itu, barangnya ada di pihak supplier, yaitu produsen atau grosir.

Menjual Barang yang Bukan Miliknya 

Asalnya, yang dilakukan reseller adalah menjual barang yang bukan miliknya. Mengenai jual beli semacam ini termasuk dalam larangan dalam jual beli. Karena di antara syarat jual beli, orang yang melakukan akad adalah sebagai pemilik barang atau alat tukar, atau bertindak sebagai wakil. Jual beli barang yang bukan miliknya telah termaktub dalam beberapa hadits larangan jual beli sebagai berikut.


Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ 

“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” 
(HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613, Tirmidzi no. 1232 dan Ibnu Majah no. 2187. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih). 


Di antara salah satu bentuk dari menjual belikan barang yang belum menjadi milik kita ialah menjual barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan kepada kita, walaupun barang itu telah kita beli, dan mungkin saja pembayaran telah lunas. 

Larangan ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ 

“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” 


Ibnu ‘Abbas mengatakan,

وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ مِثْلَهُ 

“Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” 
(HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525). 


Ibnu ‘Umar mengatakan,

وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ. 

“Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya” 
(HR. Muslim no. 1527). 


Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan,

كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ. 

“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali” 
(HR. Muslim no. 1527). 


Bentuk serah terima di sini tergantung dari jenis barang yang dijual. Untuk rumah, cukup dengan nota pembelian atau balik nama; untuk motor adalah dengan balik nama kepada pemilik yang baru; barang lain mesti dengan dipindahkan dan semisalnya. Lihat pembahasan syarat jual beli tersebut di sini.

Namun ada solusi yang ditawarkan oleh syari’at untuk mengatasi perihal di atas. 


Silakan perhatikan fatwa dari Islamweb berikut ini. (English Translation) 


Pertanyaan: 

Saya ingin bertanya mengenai sistem dropshipping. Dalam masalah ini, saya bertindak sebagai retailer (pengecer). Saya mendapatkan produk dari dropshipper. Kemudian, saya meminta pada pihak dropshipper untuk mengirimkan gambar dan saya akan mengiklankannya via eBay. Akan tetapi, saya tidak memilki produk tersebut. Produk tersebut masih berada di pihak supplier. 

Apakah situasi semacam ini termasuk dalam larangan hadits yang diceritakan oleh Hakim bin Hizaam, ia berkata bahwa ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud no. 3503, Tirmidzi no. 1232, dan An Nasai no. 4613. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dalam Shahih An Nasai). 

Perlu diketahui, bahwa saya punya surat kesepakatan dengan pihak supplier untuk mengiklankan dan menjualkan produknya. Oleh karena itu, bisakah saya dianggap sebagai agen dalam kondisi semacam ini? Jika saya sebagai agen, apakah berarti dibolehkan dalam sistem ini? 


Jawaban: 

Segala pujian yang sempurna bagi Allah, Rabb semesta alam. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. 

Apa yang kami pahami dari pertanyaan Anda bahwa Anda tidak membeli barang baik dari pihak grosir maupun dari pihak produsen. Anda lebih berminat mengiklankan gambar produknya, dan jika Anda menemukan seseorang yang memiliki keinginan untuk membeli barang tersebut, Anda akan menjualnya kepadanya dengan harga ecerean. Kemudian Anda membelinya dari pedagang grosir dengan harga grosir. 

Keuntungan yang diperoleh adalah dari selisih antara harga eceran dan harga grosir. Padahal dalam syari’at Islam seperti itu dilarang karena menjual apa yang tidak Anda miliki di tangan Anda dan membuat keuntungan dari apa yang belum menjadi milik Anda (yaitu Anda tidak menanggung risiko dan bertanggung jawab pada barang tersebut). 


Solusi syari’at untuk permasalahan di atas adalah retailer (reseller) bertindak sebagai broker (makelar atau calo) atas nama pemilik barang dari produsen atau grosir. Dalam kondisi ini diperbolehkan bagi Anda untuk meminta komisi sebagai broker sesuai yang disepakati dengan penjual (produsen atau grosir) atau dengan pembeli atau dengan kedua-duanya. 

Jika Anda membeli barang dari produsen atau grosir untuk diri sendiri, dan kemudian ingin menjualnya, Anda harus terlebih dahulu memegangnya di tangan Anda. 

Perlu diketahui bahwa kepemilikan apa pun berbeda sesuai dengan kenaturalan barang tersebut. 


Solusi lain, Anda juga bisa bertindak sebagai agen sebagaimana yang Anda sebutkan sehingga seakan-akan Anda memiliki barang tersebut atas nama Anda. Jika sebagai agen, Anda bisa menyimpan barang di tempat terpisah di gudang pihak dropshipper (produsen atau grosir) yang nanti bisa dipisahkan (dibedakan) dengan barang-barang mereka. Kemudian jika Anda menemukan seseorang yang ingin membelinya, Anda bisa menjualnya kepada dia dengan harga apa pun yang Anda dan grosir sepakati. Anda bisa mengirimkan barang tersebut kepada pembeli atau bisa pula pihak dropshipper (produsen atau grosir) yang melakukannya jika ia merasa tidak masalah dan ia memang yang menyediakan layanan pengiriman tersebut. 


Fatwa Islamweb mengenai “Rulling on Dropshipping”. 

Solusi Syar’i untuk Sistem Dropshipping 

Ada tiga solusi yang ditawarkan dalam fatwa di atas bagi pihak pengecer: 

1- Bertindak sebagai calo atau broker, dalam kondisi ini bisa mengambil keuntungan dari pihak pembeli atau produsen (grosir) atau keduanya sekaligus sesuai kesepakatan. Lihat bahasan mengenai komisi makelar (broker). 

2- Bertindak sebagai agen atau wakil, dalam kondisi ini, barang masih boleh berada di tempat produsen (grosir) dan mereka pun bisa bertindak sebagai pengirim barang (dropshipper) ke tangan konsumen atau buyer. Jika sebagai agen berarti sudah disetujui oleh pihak produsen atau grosir, ada hitam di atas putih.

3- Jika menjual sendiri (misal atas nama toko online), tidak atas nama produsen, maka seharusnya barang sampai ke tangan, lalu boleh dijual pada pihak lain. 

Bentuk dari solusi ketiga ini bisa menempuh dua cara: 

 a- Menggunakan sistem bai’ al murabahah lil amir bisy syira’ (memerintah untuk membelikan barang dengan keuntungan yang disepakati bersama). Sistem ini bentuknya adalah buyer (pembeli) melihat suatu barang yang ia tertarik di katalog toko online. Lalu buyer memerintahkan pada pihak toko online untuk membelikan barang tersebut dengan keuntungannya yang telah disepakati. Barang tersebut dibelikan dari pihak produsen (grosir). Namun catatan yang perlu diperhatikan, sistem al aamir bisy syiro’ tidak bersifat mengikat. Pihak buyer bisa saja membatalkan transaksi sebelum barang dikirimkan. Kemudian dalam sistem ini menunjukkan bahwa barang tersebut sudah jadi milik penuh pihak toko online. Dalam sistem ini sebagai dropshipper adalah pihak toko online itu sendiri atau bisa jadi ia menyuruh pada supplier, namun ia yang bertanggungjawab penuh terhadap kerusakan barang. Lihat bahasan mengenai bai’ al murabahah lil amir bisy syira’. 

 b- Menggunakan sistem bai’ salam (uang tunai terlebih dahulu diserahkan tidak bisa dicicil, lalu barang belakangan). Bentuknya adalah buyer (pembeli) mengirimkan uang tunai kepada pihak toko online seharga barang yang hendak dia beli, kemudian pihak toko online mencarikan barang pesanan pembeli. Lalu pihak toko online membeli barang, dan selanjutnya barang dikirim ke pembeli oleh tanpa disyaratkan pemilik toko online tersebut yang mengirimnya, bisa saja pihak produsen (grosir) yang mengirimnya secara langsung pada buyer. Lihat bahasan mengenai jual beli salam. 

Sebelumnya tertulis demikian dalam tulisan Rumaysho.com ini: Lalu pihak toko online membeli barang, dan selanjutnya barang dikirim ke pembeli oleh pihak toko online. Semua risiko selama pengiriman barang ditanggung oleh pihak toko online. Intinya di sini, toko online sudah membeli barang tersebut dari supplier. Ini keliru karena jual beli salam yang terpenting adalah pihak toko online bersedia menyediakan barang setelah uang tunai diberikan, tidak dipersyaratkan siapakah yang mesti mengirim. Jazakumullah khoiron kepada yang telah mengingatkan atas kekeliruan ini. Lihat sekali lagi keterangan lebih lanjut mengenai jual beli salam.


Semoga Allah senantiasa menunjuki kita pada penghidupan yang halal. Berilmulah sebelum beramal dan terjun dalam jual beli. 


Imam Syafi’i juga berkata, “Siapa yang ingin dunia, wajib baginya memiliki ilmu. Siapa yang ingin akherat, wajib baginya pula memiliki ilmu.” (Dinukil dari Mughnil Muhtaj) 


Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada mendatangkan maslahat.” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa Ibnu Taimiyah, 2: 382)

Kami sangat mengharapkan masukan dan saran jika ada yang menemukan kekeliruan dalam tulisan di atas. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad, hanya Allah yang memberikan taufik dan petunjuk.


Referensi:


1- islamweb.net
2- wikipedia
3- epatchina.com
4- topdropshipping.blogspot
5- gorilladropship
6- pengusahamuslim.com
7- islamqa.org
@ Sakan 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 29 Muharram 1434 H
Sumber: rumaysho.com

Dzikir Setelah Shalat Fardhu

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ, أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ, أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ,
اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامِ
Aku minta ampun kepada Allah “(dibaca tiga kali), “ Ya Allah, Engkau pemberi keselamatan, dan dari-Mu keselamatan, Maha Suci Engkau, wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia.
---------- Muslim: 1/414. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [ثلاثاً]
اللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ
Tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya puji dan bagi-Nya Kerajaan. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (3x)
Ya Allah tidak ada yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan dan tidak ada yang mampu memberi apa yang Engkau cegah. Nasib baik seseorang tiada berguna untuk menyelamatkan ancaman dari-Mu.
---------- Bukhari: 1/225, Muslim: 1/414. سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ (ثلاثاً وثلاثين)
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Maha Suci Allah, Segala puji bagi Allah, Allah Maha Besar “ (di-baca 33 kali),
“Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.
---------- Muslim: 1/418, “Siapa yang mengucapkannya selesai shalat, Aku (Allah) ampuni kesalahan-kesalahannya walaupun sebanyak buih di lautan”. اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ . Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah), melainkan Dia yang hidup kekal, lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa seizin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka. Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Al-Baqarah: 255)
---------- 1) “Siapa yang membacanya sehabis shalat tidak ada yang menghalanginya masuk surga kecuali kematian”. HR. An-Nasa’i dalam Amalul Yaumi Walailah, no: 100, Ibnu Sunny, no. 121, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Jami’: 5/339, dan Silsilah Hadits Shahih: 2/697, no. 972. بسم الله الرحمن الرحيم قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ* اللَّهُ الصَّمَدُ* لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ* وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ
بسم الله الرحمن الرحيم قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ* مِن شَرِّ مَا خَلَقَ* وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ* وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ* وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
بسم الله الرحمن الرحيم قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ* مَلِكِ النَّاسِ* إِلَهِ النَّاسِ* مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ* الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ* مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
Dibaca setiap selesai shalat fardhu
---------- 1) HR. Abu Daud: 2/68, lihat Shahih Tirmidzi: 2/8, ketiga surat tersebut disebut juga “Al Mu’awwizaat”, lihat Fathul baari: 9/62. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (Dibaca 10x setelah shalat Maghrib dan Subuh.) Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya pujian, Dia Menghidupkan dan Mematikan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu”.
---------- HR. Tirmidzi: 5/515, Ahmad: 4/227, lihat takhrijnya dalam Zadul Ma’aad: 1/300 اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْماً نافِعاً، وَرِزْقاً طَيِّباً، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً (Diucapkan setelah salam khusus shalat Subuh) Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik dan amal yang diterima.
---------- Ibnu Majah dan lainnya. Lihat Shahih Ibnu Majah: 1/152 dan Majmauzzawa’id: 10/111.

Shalat Jum'at Saat Pandemic

Pandemic virus corona yang diberi nama Covid-19 hingga saat ini telah melanda dunia selama kurang lebih empat bulan lamanya. Berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang dan mengakibatkan adanya satu kerumunan pada masa pandemik harus dihindari. Pun demikian dengan kegiatan keagamaan -seperti shalat berjamaah dan Shalat Jum'at- pada masa seperti ini pada akhirnya dibatasi.

Setelah sekian lama Masjid Al-Muhajirin menghentikan kegiatannya secara umum, akhirnya kegiatan masjid kembali dimakmurkan warga. namun hal ini dilakukan dengan tetap mengikuti protokol kesehatan yang telah dianjurkan. Selain itu dibatasi pula siapa saja yang boleh menghadiri shalat berjamaah dan Shalat Jum'at, diantaranya tidak disarankan bagi lansia, orang yang merasa kurang sehat serta orang yang belum baligh. Bagi mereka disarankan untuk melakukan shalat di rumah saja.

Adapun protokol kesehatan yang penting untuk diperhaikan dalam melaksanakan shalat berjamaah dan Shalat Jum'at antara lain adalah seperti berikut:

  1. Cuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah berangkat ke masjid.
  2. Berwudhu di rumah.
  3. Anak dibawah usia 15 tahun, lansia dan orang yang kurang sehat agar tetap melaksanakan ibadah di rumah.
  4. Tertib dan tidak berdesakkan saat masuk dan keluar masjid.
  5. Tempati area dan shaf sesuai dengan tanda yang telah diberikan.
  6. Membawa perangkat ibadah sendiri seperti sajadah maupun Al'quran (atau dengan Handphone).
  7. Menggunakan masker.
  8. Hindari kontak fisik dengan jamaah lain.
  9. Segera meninggalkan masjid apabila telah melaksanakan ibadah wajib. 

Demikian protokol yang perlu diikuti dalam menjalankan ibadah di masjid pada saat pandemic ini masih berlangsung. 

Tetap jaga kesehatan, semoga bermanfaat.

Tidak Shalat Berjamaah Karena Pandemic

Pada situasi dan kondisi dimana pandemic sedang berlangsung di berbagai belahan dunia ini, beberapa orang memang harus merelakan tidak bisa ikut beribadah karena mengurusi kepentingan umat. Memang terasa sedih, karena tidak bisa merayakan salah satu dari dua hari raya islam. Mungkin sebagian orang berpikir bahwa akan luput dari pahala tersebut akan tetapi pekerjaan ini sangat mulia, tersimpan didalamnya pahala yang banyak asal disertai niat yang tulus.
Mungkin perasaan mereka sama dengan perasaan Ali bin Talib Radhiallahu ‘anhu tidak bisa mengikuti perang Tabuk ketika harus menjadi pengganti Rasulullah ﷺ mengurusi urusan kaum muslimin di Madinah.
عن سعد بن أبي وقاص قال خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم علي بن أبي طالب في غزوة تبوك فقال يا رسول الله تخلفني في النساء والصبيان فقال أما ترضى ان تكون مني بمنزلة هارون من موسى غير انه لا نبي بعدي
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ia berkata, “Rasulullah ﷺ pernah memberi tugas kepada ‘Ali bin Abi Thalib saat perang Tabuk (untuk menjaga para wanita dan anak-anak di rumah). ‘Ali pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, engkau hanya menugasiku untuk menjaga anak-anak dan wanita di rumah ?’. Maka beliau menjawab, ‘Tidakkah engkau ridho mendapatkan kedudukan di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku ?”
[HR. Al-Bukhari no. 4416 dan Muslim no. 2404].

Lihat kemuliaan yang didapat oleh Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, yang kemulian ini ditulis dibuku-buku keutamaan para sahabat. Hal ini karena beliau sangat ingin mendapatkan keutamaan jihad perang tabuk tetapi beliau berkorban untuk kepentingan umum.

Tapi sholat ‘idul fithri kan hukumnya wajib?
Memang menurut pendapat terkuat hukumnya adalah wajib, bagi mereka yang tidak bisa ikut sholat ‘ied demi kepentingan umat hadist berikut menjadi jawabannya. Dari Abu Huroiroh Radhiallahu ‘Anhu dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ الْمُؤَذِّنَ فَيُقِيمَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ آخُذَ شُعَلًا مِنْ نَارٍ فَأُحَرِّقَ عَلَى مَنْ لَا يَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ بَعْدُ
“Sungguh aku sangat ingin memerintahkan sholat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang. Kemudian, aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut sholat, lalu aku bakar rumah mereka dengan api tersebut.
[HR. Al-Bukhori no.2420, Muslim no.651]

Berkata Ibnu Hajar Al-‘Asqolaniy Rahimahullah menjelaskan hadist ini,
لَيْسَتْ بِهِمْ عِلَّةٌ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الْأَعْذَارَ تُبِيحُ التَّخَلُّفَ عَنِ الْجَمَاعَةِ وَلَوْ قُلْنَا إِنَّهَا فَرْضٌ وَكَذَا الْجُمُعَةُ وَفِيهِ الرُّخْصَةُ لِلْإِمَامِ أَوْ نَائِبِهِ فِي تَرْكِ الْجَمَاعَةِ لِأَجْلِ إِخْرَاجِ مَنْ يَسْتَخْفِي فِي بَيْتِهِ وَيَتْرُكُهَا
“Tidak ada alasan yang menunjukkan adanya ‘udzur meninggalkan sholat berjama’ah -sendainya kita katakan fardhu- dan demikian juga sholat jumat, terdapat rukhsoh/keringanan bagi imam atau wakilnya untuk meninggalkan sholat berjama’ah untuk mengeluarkan orang-orang yang bersembunyi dirumahnya dan meninggalkan sholat berjama’ah.”
[Fathul bari l 2/ 130, Darul Ma’rifah Bierut, Asy-Syamilah]

Jadi, boleh meninggalkan suatu kewajiban demi kepentingan orang banyak dan syari’at, sebagaimana yang dilakukan Nabi ﷺ dan beberapa orang yang meninggalkan kewajiban sholat berjama’ah untuk membakar rumah orang-orang yang tidak menunaikan kewajiban sholat berjama’ah.

Niat bisa sama dengan pahala melakukan
Mungkin yang tidak bisa melaksanaan sholat ‘ied khawatir tidak mendapat pahala sholat ‘ied, maka perhatikan hadist berikut,
عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الْأَنَّمَارِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
Dari Abu Kabsyah Al-Anmari Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwa dia mendengar Rasululloh ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu untuk 4 orang: Hamba yang Allah berikan rizqi kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan hamba yang diberikan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada Robbnya pada rizqi itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya dengan rizqinya, dan dia mengetahui hak bagi Allah padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Alloh).
Hamba yang Allah berikan rizqi kepadanya berupa ilmu, namun dia tidak memberikan rizqi berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan Si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”. Maka dia (dibalas) dengan niatnya (yang baik), pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.
[HR. Tirmidzi, no: 2325; Ibnu Majah, no: 4228; Ahmad 4/230-231, no: 17570; dll, Dishohihkan Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Sunan Ibni Majah, no: 3406]

Jadi apabila seorang dokter, perawat, polisi, tentara, satpam dan lain-lain yang tidak bisa melakukan suatu amalan tertentu dengan niat demi kemaslahatan sya’riat dan kepentingan orang banyak. Maka ia mendapatkan pahala sebagaimana pahala melaksanakannya.

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walamdulillahi robbil ‘alamin.

Sumber : muslimafiyah.com

Shalat Sunnah Rawatib

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta di tanya, “apa yang dimaksud dengan shalat sunnah rawatib? Apabila saya melaksanakan shalat 4 rakaat sebelum dzuhur dan 4 rakaat sebelum ashar, apakah diharuskan untuk salam setiap 2 rakaat ataukah bagaimana? Jazakumullahu khairan“.
Mereka menjawab:

Shalat sunnah rawatib ada 12 rakaat:
  • 4 rakaat sebelum dzuhur dengan 2 salam,
  • 2 rakaat setelahnya dengan sekali salam,
  • 2 rakaat setelah maghrib dengan 1 salam,
  • 2 rakaat setelah isya dengan 1 salam,
  • 2 rakaat sebelum shubuh dengan 1 salam.
Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam selalu menjaga ke-12 rakaat tersebut ketika beliau sedang tidak bepergian.

Beliau bersabda,
من صلى ثنتي عشرة ركعة تطوعا في اليوم والليلة ، بني له بهن بيت في الجنة “barangsiapa yang shalat sunnah 12 rakaat dalam sehari semalam, Allah akan bangunkan untuknya rumah di surga”
(HR. Muslim no. 728).
Terdapat salah satu hadits yang menafsirkan 12 rakaat ini dengan shalat sunnah rawatib. Shalat-shalat inilah yang disebut dengan shalat rawatib.
Jika seseorang shalat 4 rakaat setelah shalat dzuhur maka di dalamnya terdapat keutamaan. Sebagaimana terdapat di dalam hadits, من حافظ على أربع قبل الظهر وأربع بعدها حرمه الله على النار “barangsiapa yang shalat 4 rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, maka Allah mengaharamkan neraka untuknya”
(HR. Tirmidzi no. 428, Abu Daud no. 1269, An Nasa-i no. 1816).
Akan tetapi, 4 rakaat setelah dzuhur bukanlah shalat sunnah yang rawatib, karena yang menjadi rawatib hanya 2 rakaat saja. Jika kemudian menambah dan melaksanakan 2 rakaat untuk menambah rakaat dalam rangka meneladani tuntunan Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam, maka hal ini baik. Sebagaimana sabda Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam dalam hadits Ummul Mu’minin Ummu Habibah binti Abi Sufyan –radiyallahu’anha-, bahwa beliau mendengar Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda, من حافظ على أربع قبل الظهر وأربع بعدها حرمه الله على النار “barangsiapa yang shalat 4 rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, maka Allah mengaharamkan neraka untuknya” Dan dianjurkan pula untuk shalat 4 rakaat sebelum ashar, namun bukan termasuk ke dalam shalat rawatib. Akan tetapi, dianjurkan untuk mengerjakannya dengan 2 kali salam sesuai dengan sabda Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam, رحم الله امرأ صلى قبل العصر أربعا “Allah akan merahmati urusan seseorang bila ia shalat 4 rakaat sebelum shalat ashar”.
(HR. Ahmad, tirmidzi, dan jamaah dengan sanad shahih dari Ibnu Umar Radiyallahu’anhuma).
Dianjurkan pula untuk melaksanakan shalat sunnah di antara adzan dan iqamat dalam setiap waktu shalat, terlebih pada saat shalat maghrib dan isya. Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda, بين كل أذانين صلاة ، بين كل أذانين صلاة” وقال في الثالثة : “لمن شاء “di setiap 2 adzan terdapat shalat, di setiap 2 adzan terdapat shalat, beliau berkata yang ketiga kalinya: bagi siapa yang menginginkan untuk melakukannya”.
(HR. Al Bukhari no. 627, Muslim no. 828).
Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam juga bersabda, صلوا قبل المغرب ، صلوا قبل المغرب” ثم قال : “لمن شاء “shalatlah kalian sebelum maghrib, shalatlah kalian sebelum maghrib, beliau berkata yang ketiga kalinya: bagi siapa yang menginginkan untuk melakukannya”.
(HR. Al Bukhari nol 1183).
Para sahabat Radhiyallahu’anhum selalu melaksanakan shalat sunnah setelah maghrib 2 rakaat.
Mereka juga melaksanakan shalat 2 rakaat setelah adzan maghrib sebelum waktu iqamat dikumandangkan. Shalat sunnah ini bukanlah shalat sunnah yang rawatib akan tetapi shalat sunnah biasa.
Empat rakaat setelah dzuhur bukanlah shalat sunaah rawatib, karena shalat sunnah rawatib setelah dzuhur hanya 2 rakaat.
Shalat 4 rakaat sebelum shalat ashar dengan 2 salam adalah sunnah, tetapi bukanlah shalat sunnah yang rawatib. akan tetapi, shalat sunnah tersebut nabi perintahkan dan tekankan untuk mengerjakannya.
Namun, jika seorang mu’min menjaga shalat sunnah 4 rakaat sebelum ashar tersebut sebagaimana sabda beliau, رحم الله امرأ صلى قبل العصر أربعا “Allah akan merahmati urusan seseorang bila ia shalat 4 rakaat sebelum shalat ashar”. Ia akan mendapatkan keutamaan.
Jika ia menjaga shalat tersebut, berarti ia telah mengikuti contoh dari Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam. Begitu pula jika ia shalat 2 rakaat antara adzan dan iqamah shalat maghrib, 2 rakaat antara adzan dan iqamah shalat isya, 2,4, atau lebih shalat dhuha, yakni ketika matahari telah meninggi sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam.

Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam melaksanakan shalat dhuha di sebagian kesempatan, lalu beliau mewasiatkan kepada para sahabatnya untuk melaksanakannya pula. Shalat ini dianjurkan baik ketika bepergian maupun tidak bepergian. Begitu pula shalat tahajjud di malam hari setelah shalat isya. Maka shalatlah siapa saja yang dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakannya, kemudian berwitir dengan 1 rakaat. Seorang tersebut shalat tahajjud sebanyak 3,5,7,9,11,13, atau lebih.

Maka shalatlah siapa saja yang dimudahkan oleh Allah untuk melaksanakannya di awal malam, pertengahan, atau akhir malam dalam rangka meneladani Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam. Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam biasa melaksanakan shalat tahajjud yang kemudian beliau pungkasi dengan 1 rakaat shalat witir. Terkadang beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam melaksanakan shalat witir di awal malam, dan di sebagian kesempatan pada pertengahan malam. Beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam kerahkan seluruh kesungguhannya untuk melaksanakan shalat tahajjud dan witirnya di akhir malam. Ini merupakan waktu yang paling utama bagi orang yang dimudahkan untuk mengerjakannya. Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam bersabda, من خاف ألا يقوم من آخر الليل فليوتر أوله ، ومن طمع أن يقوم آخره فليوتر آخر الليل؛ فإن صلاة آخر الليل مشهودة ، وذلك أفضل “siapa saja yang khawatir dirinya tidak bisa bangun di akhir malam, maka shalat witirlah di awal malam. Namun, siapa yang biasa bangun akhir malam maka shalat witirlah di akhirnya. Karena shalat di akhir malam adalah sesuatu yang disaksikan, dan hal tersebut adalah shalat yang utama”
(HR. Muslim no. 755).
Jumlah minimal rakaat dalam shalat witir adalah 1 rakaat. Dapat dilakukan setelah shalat rawatib ba’diyyah isya. Tiga rakaat shalat witir lebih utama, dan bila lebih dari 3 maka lebih utama lagi. Setiap 2 rakaat salam kemudian disempurnakan dengan shalat witir di akhir malam. Ketika beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam shalat 13 rakaat, maka beliau melakukan salam setiap 2 rakaat dan ini lebih utama. Namun jika seorang shalat 3,5, atau 7 rakaat dengan 1 salam di akhir rakaat, maka hal ini tidaklah mengapa. Rasulallah Shalallahu’alaihi wa Sallam telah melakukan hal tersebut, dan itu termasuk ke dalam sunnah.

Beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam terkadang shalat 6 rakaat lalu melakukan tasyahud awal, kemudian beliau berdiri untuk melanjutkan rakaat ke-7. Namun bila ingin shalat 9 rakaat, maka harus duduk tasyahud di rakaat ke-8 kemudian berdiri melanjutkan rakaat ke-9.
Akan tetapi, yang paling utama adalah dengan melakukan salam setiap 2 rakaat, sebagaimana terdapat hadits dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu’anha, كان النبي – صلى الله عليه وسلم – يصلي إحدى عشرة في الليل ، يسلم من كل ثنتين ، ويوتر بواحدة “Nabi Shalallahu’alaihi wa Sallam shalat malam dengan 11 rakaat, setiap 2 rakaat beliau melakukan salam, kemudian melengkapkannya dengan 1 witir”
(HR. Bukhari no. 1164, Muslim no. 765).
Beliau Shalallahu’alaihi wa Sallam juga bersabda, صلاة الليل مثنى مثنى – يعني ثنتين ثنتين – فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى “shalat malam 2 rakaat-2 rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir terlewat shalat malam, maka shalatlah 1 rakaat untuk mengganjilkan hitungan rakaat shalatnya”
(HR. Bukhari no. 472, Muslim no. 749).
Inilah yang utama. Jika seseorang khawatir dirinya tidak bisa bangun di akhir malam, maka hendaknya ia shalat sebelum tidur. Shalatlah 3, 5 ataupun lebih dari itu. Lakukanlah salam di akhir setiap rakaat kedua dalam rangka khawatir tidak dapat bangun di akhir malam. Hal ini termasuk ke dalam bab semangat dalam beribadah.
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua.


Sumber: Alifa Net, Muslim Or Id